Sejarah Kesusastraan Arab Modern

Perjalanan sejarah kesusastraan Arab modern tidak diragukan lagi dalam perjalanannya telah lebih kaya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Tema-temanya lebih bervariasi. Pada masa modern orang-orang Arab lebih terbuka terhadap pengaruh-pengaruh eksternal, baik dari Timur maupun dari Barat. Dalam sastra Arab modern, Mesir dapat dikatakan merupakan pembuka jalan meskipun dari para sastrawan itu banyak yang berasal dari Libanon dan Suriah. Mereka pindah ke Mesir untuk menyalurkan bakatnya di negeri ini.
Pada akhir abad ke XVIII ketika bangsa Arab di bawah pemerintahan daulat Usmaniyah keadaannya sangat lemah. Bangsa Eropah setelah melihat keadaan ini, kembali mengulangi akspansinya ke Timur Tengah. Mereka datang tidak dengan kekerasan tetapi kedatangan ini dengan dalih untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan memperluas roda perdagangan.
Pemerintahan berikutnya yang jatuh kepada Muhammad Ali ( yang semula diangkat oleh sultan Usmani menjadi Gubernur Mesir ) berusaha untuk menerima kebudayaan Barat dan hasil ilmu pengetahuan Barat, Ali tidak lagi mementingkan ilmu pengetahuan yang tidak bersangkutan dengan kepentingan pemerintah dan pembangunan, makaperkembangan di bidang sastra berkurang.
Dua abad kemudian barulah muncul lagi karya sastra Arab yang baru, dan para
penyair menyesuaikan diri dengan keadaan zaman modern , mereka mulai melepaskan diri dari ciri khas klasik, namun keterikatannya masih ada. Minat universitas atau perguruan tinggi di Eropa dan Amerika terhadap kesusastraan Arab klasik dan modern sama baiknya dengan universitas atau perguruan tinggi di Arab.
Sastrawan dan pemikir besar menjelang pertengahan abad ke-20 adalah Muhammad Iqbal (1877-1938) yang lahir di Sialkot dan wafat di Lahore, Pakistan. Ia mengungkapkan filsafatnya dengan puisi dalam bahasa Urdu dan Persia. Beberapa prosanya ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dari kumpulan puisinya, yang terkenal adalah Asrari Khudi di samping karya filsafatnya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Dalam abad ke-19 kegiatan penerjemahan buku-buku ke dalam bahasa Arab sudah mulai dirintis secara besar-besaran, yang sudah tentu sebagian besar berupa karya-karya sastra Barat. Nama-nama mulai dari Villon sampai pada angkatan Sartre dalam sastra Perancis, atau Marlowe sampai angkatan Auden dalam sastra Inggris, sudah tidak asing lagi, di samping dari Eropa lainnya.
Sesudah Perang Dunia I pemikiran-pemikiran intelektual di Mesir, Suriah, dan Irak semakin terasa. Dalam kesusastraan mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pada satu pihak pengarang-pengarang yang mempunyai latar belakang pendidikan Barat cenderung pada sastra Perancis dan pada pihak lain lebih cenderung pada sastra Inggris. Yang pertama diwakili oleh Muhammad Husein Haekal (1888-1956) selain sebagai seorang sastrawan, ia juga dikenal sebagai wartawan terkemuka dan pemikir, sedangkan yang kemudian dapat dikatakan diwakili oleh Abbas Mahmud Al-Aqqad (1889-1973) dan Ibrahim Al-Mazini (1890-1949).
Perkembangan bahasa pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang-panjang, dan berbunga-bunga akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosakata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan zaman, serba singkat, dan serba cepat. Ciri khas perkembangan bahasa dalam sastra Arab Modern ialah digunakannya bahasa percakapan (vernacularism) dalam dialog, sekalipun dalam pemerian tetap dengan bahasa baku. Masing-masing negara berbahasa Arab mempunyai caranya sendiri dalam membenahi budayanya sehingga tidak ada keseragaman mutlak. Karena itu, tidak dapat disangkal lagi bahwa kesusastraan Arab modern merupakan sebuah tempat di mana terjadi perubahan-perubahan yang terus-menerus. Kesusastraan Arab modern tercermin pada suasana hidup yang kontemporer dalam semua aspeknya dan manifestasinya yang beraneka ragam.
referensi: 
Achmad. Bahrudin. 2011. Sejarah & Tokoh Kesusastraan Arab. 

0 komentar:

Posting Komentar