ZUHAIR BIN ABI SULMA


KABILAH DAN KELUARGA ZUHAIR
Nama lengkapnya adalah Zuhair bin Abi Sulma bin Rabi’ah bin Rayyah al-Muzani. Ayahnya bernama Rabi’ah yang berasal dari kabilah Muzainah. Pada zaman Jahiliyyah kabilah ini hidup berdekatan dengan kabilah bani Abdullah Ghatafaniyyah yang menghuni di daerah Hajir, Nejed, sebelah timur kota Madinah. Kabilah ini juga bertetangga dengan kabilah Bani Murrah bin Auf bin Saad bin Zubyan. Ia adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah setelah Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal karena kesopanan kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan nasehat. Sehingga banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai contoh hikmah dan nasehat yang bijaksana.
            Rabi’ah bersama isteri dan anak-anaknya tinggal dalam lingkungan kabilah Bani Murrah (kabilah Zubyan) dan kabilah Bani Abdullah Ghatafaniyyah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan
Aus bin Hujr, seorang penyair terkenal dari Bani Tamim. Sementara Zuhair dan saudara-saudaranya, Sulma dan al-Khansa`, diasuh oleh Basyamah bin al-Ghadir, paman mereka yang juga seorang penyair. Dengan demikian Zuhair adalah keturunan kabilah Muzainah yang dibesarkan di tengah-tengah kabilah Bani Ghatafaniyyah.
KARYA-KARYANYA
Kalangan para perawi puisi menyatakan bahwa Zuhair lambat dalam menciptakan puisi. Hal itu dikarenakan dalam menciptakan puisi dia menempuh langkah-langkah: penggagasan, pngolahan, dan penyeleksian (penyuntingan), sebelum kemudia puisi tersebut dipublikasikan (dibacakan dihadapan khalayak ramai). Oleh karena itulah kepadanya disandarkan kisah proses penciptaan puisi hauliyaat. Hal itu dapat dilihat pula Ka'ab dan Al-khutaiyyah yang mengikuti alirannya (Taha Husein, 1936: 284).
Keistimewaan karyanya terletak pada kekuatan bahasa dan susunan kata-katanya, banyak terdapat kata-kata asing (sulit) dalam puisinya, dia berupaya untuk mencari hakekat makna asli untuk mengeluarkannya pada konkrisitas materi yang sebenarnya. Dengan kekuatan akal dan wawasannya dalam penggambaran-penggambaran dan imajinasinya. Pada umumnya, apa yang diungkapkannya tidaklah jauh dari hakekat realitas yang konkret. Zuhair juga termasuk penyair masa Jahiliyyah yang terkenal dalam pengungkapan kata-kata hikmah dan pribahasa. Dalam kehidupannya ia terkenal dengan konsistensi dan kecerdasannya. Pendapatnya sesuai dengan kehidupannya. Posisi kesusastraannya, menurut kebanyakan para kritikus sastra Arab, dibangun atas hikmah dan kata-kata bijak yang dikenal pada masanya (Karum al-Bustani, 1953:6).
            Kumpulan puisi Zuhair telah diterbitkan bersama kumpulan-kumpulan puisi dari lima penyair terkenal lainnya, yaitu Umru al-Qais, an-Nabighah, Tharafah, Antarah, dan al-Qamah. Kumpulan puisi yang lain diterbitkan pada tahun 1889 dalam bentuk serial yang berjudul “Tharafa Arabiyyah”, kemudian dicetak ulang di Mesir dan di kota-kota lain yang diusahakan oleh Musthafa Saqa.
            Ada dua sumber mengenai kumpulan puisi Zuhair, Pertama, berasal dari ulama Basrah yang mengatakan bahwa ada 18 kasidah, sebagaimana ada komentar yang berbunyi: “Mencakup semua kasidah Zuhair yang sampai pada kita atas dasar riwayat yang ada”. Adapun sumber kedua, berasal dari ulama Kufah yang mengatakan bahwa ada tambahan sepuluh kasidah, tetapi bahwa tambahan itu adalah ulah tangan orang lain.
            Para ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair bin Abi Sulma termasuk ke dalam katagori yang tinggi, dan hampir dapat disamakan dengan puisi Umru al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Dalam hal itu mereka beralasan bahwa Zuhair memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
1.      Ijaz-nya bagus dan suka membuang tambahan pembicaraan serta kata-kata yang kurang dipelukan, sehingga ia menciptakan sedikit kata banyak makna,
2.      Madah-nya bagus dan menjauhi kedustaan di dalamnya. Dia tidak memuji seseorang melainkan karena akhlaknya dan sifat-sifat terpuji yang diketahuinya,
3.      Kata-katanya jauh dari ta'qid (komplikasi) kata dan makna, serta jauh dari pembicaraan yang tidak perlu dan asing (sulit dicari maknanya),
4.      Puisinya sedikit sekali mengandung kata-kata yang buruk. Oleh karena itu, puisi-puisinya bersih dan sedikit sekali adanya cercaan di dalamnya. Pernah suatu kali, ia mencerca suatu kaum, namun ia sedih dan menyesali apa yang telah diperbuatnya.
5.      Banyak mengungkapkan amtsal (pribahasa) dan kata-kata hikmah, sehingga penyair ini dianggap sebagai orang yang pertama dalam menciptakan kata-kata hikmah dalam puisi Arab, yang kelak akan diikuti oleh penyair lainnya, seperti Shalih bin Abdul Kudus, Abu al-Atahiyah, Abu Tamam, al-Mutanabby, dan Abu al-Ala’ al-Ma’ary dari kalangan Arab peranakan (al-Muwalidin). Adapun Muallaqatnya bias dilihat Disini!


referensi:          
Achmad. Bahrudin. 2011. Sejarah & Tokoh Kesusastraan Arab. 

0 komentar:

Posting Komentar